CAHAYABRONEO.COM, OPINI – Paudi, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data dan Informasi Bawaslu Republik Indonesia (RI) beberapa hari terakhir masiv mengeluarkan isu strategis. Salah satunya paling gencar adalah Bawaslu harus mengutamakan keadilan restoratif. Dimana jika sebelumnya proses penghukuman adalah mutlak dan diutamakan dalam menegakkan keadilan pemilu, kini dirinya ingin sedikit ada pergeseran. Namun esensi Bawaslu selaku penegak keadilan pemilu tetap bermarwah dan makin bersinar.
Penilaian penulis sendiri cenderung sikap ini memberikan manfaat positif bagi citra Bawaslu dan etos kinerja Bawaslu. Lantaran selama ini Bawaslu di masyarakat dianggap pengadil yang kerap dijauhi. Apalagi jika masa kampanye berjalan. Stigma ini perlu diubah. Memang sejatinya tujuan pemidanaan pemilu sendiri merupakan pembalasan apa yang diperbuat pelanggar.
Dari teori, pemidanaan sendiri dibagi beberapa jenis, ada teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien). Teori ini mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakekat suatu pidana ialah pembalasan.
Kemudian, ada Teori Relative atau tujuan (doel theorien) Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus bertujuan untuk mencegah niat buruk pelaku (dader), mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya, atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Terakhir ada Teori gabungan (werenigingstheorien), teori ini sama-sama menitikberatkan unsur pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Dapat dikatakan bahwa teori ini tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat.
Hanya saja benar jika pelanggaran yang dilakukan seseorang di masa pemilu haruslah diberikan sanksi pidana, namun tetap ditinjau kembali dari sisi jenis pelanggarannya. Jika mau ditelaah lagi ada namanya kejahatan pemilu, dan ada pelanggaran pemilu. Dari kejahatan pemilu sendiri mungkin dapat diklasifikasikan tindak pidana umum yang sudah sering disidangkan pengadilan negeri.
Contohnya yakni politik uang, mengubah hasil perolehan suara, mencoblos lebih dari satu kali, kepala desa tidak netral, kampanye di tempat ibadah atau tempat pendidikan, mencoblos menggunakan surat suara orang lain, menggunakan ijazah palsu, melanggar netralitas aparatur sipil negara (ASN), kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, menghina suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), kampanye diluar jadwal, kampanye melibatkan ASN, melakukan kekerasan atau mengganggu ketertiban, membuat kotak suara tidak tersegel, menghilangkan hasil rekap suara atau Form DA1, menyebabkan hilangnya hak pilih, mengacaukan kegiatan kampanye, memalsukan data pemilih, dan kampanye mengajak warga negara Indonesia yang belum memiliki hak pilih.
Tapi di Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ada sanksi PPS yang tidak mengumumkan daftar pemilih sementara (DPS), hukumannya 12 bulan penjara. Apakah ini adil bagi penyelenggara ? yang mana mereka sudah bekerja maksimal namun di lapangan ternyata ada bukti PPS ada kealpaan dalam bekerja lantas lupa mengumumkan. Ini perlu kajian matang dalam memutuskan melanjutkan ke pelanggaran pidana ataukah digeser ke etik atau pelanggaran administrasi. Bahkan pengrusakan alat peraga kampanye (APK) yang masuk ranah pidana, jika pelapor dan terlapor mau dimediasikan sehingga muncul kesepakatan ada penggantian APK oleh terlapor maka kasus sejatinya bisa didamaikan. Pasti ada keinsyafan dan efek jera dari pelaku, serta ada pemenuhan tanggung jawab atas kerugian yang dialami korban.
Ini sejalan dengan keadilan restoratif. Keadilan restoratif sendiri dimaknai peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Keadilan restoratif dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak (stakholders). Keadilan restoratif merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.
Secara garis besar kesimpulan proses penanganan pelanggaran nantinya di pemilu serentak 2024 personil Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) akan lebih teliti dalam memilah memproses segala bentuk pelanggaran pidana. Tetap dalam koridor hukum yang konkrit. Lantaran mahkota penanganan pelanggaran adalah membuat efek jera kepada mereka yang melanggar. (*)
Penulis: Ketua Bawaslu Penajam Paser Utara (PPU) Edwin Irawan