OPINI – Kebijakan sistem zonasi pada pendidikan di Indonesia ini mulai diterapkan pada tahun 2017 dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pada saat itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menerapkan sistem zonasi sebagai salah satu strategi pemerataan pendidikan yang berkualitas dan adil pada masyarakat Indonesia. Sistem zonasi ini diimplementasikan secara bertahap sejak tahun 2016 untuk penyelenggaraan ujian nasional (UN), kemudian barulah tahun 2017 diselenggarakan pada PPDB.
Tujuan dari sistem zonasi ini memang mulia dan baik untuk pemerataan pendidikan bagi masyarakat Indonesia, namun tampaknya masih banyak kontroversi mengenai kebijakan ini. Belum lagi pada PPDB tahun 2023 ini, banyak sekali keluhan mengenai sistem zonasi yang dibagikan melalui media sosial.
Sistem zonasi pada dasarnya merupakan sistem penerimaan peserta didik yang didasarkan pada jarak tempat tinggal ke sekolah sesuai zona. Jumlah siswa yang diterima menurut zonasi per jenjang untuk SD sebanyak 73%, SMP sebanyak 50%, dan SMA sebanyak 50%. Pada dasarnya sistem zonasi ini merupakan prioritas untuk siswa yang tinggal setidaknya satu kelurahan dengan sekolah tersebut.
Lalu pada tahun ini sistem zonasi mendapatkan banyak keluhan karena adanya peraturan penerimaan murid baru ini berdasarkan usia tertua juga. Jadi bagi siswa-siswa yang mengikuti jalur zonasi akan diseleksi dari usia tertua ke usia termuda. Aturan ini dicantumkan pada Permendikbud Nomor 44 tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Pada pasal 25 ayat 2 disebutkan, “Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir yaitu menggunakan usia peserta didik yang lebkh tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.”
Akibatnya, banyak wali murid atau orang tua yang menentang peraturan ini. Contohnya seperti yang terlihat dari banyak media sosial bahwa masih banyak masyarakat yang mengeluhkan anaknya belum mendapat sekolah. Seperti pada PPDB terakhir ini, di media sosial twitter contohnya, banyak sekali yang mengeluh dan mempertanyakan sistem zonasi pada PPDB ini.
Ada juga yang mengetahui bahwa beberapa orang sampai rela memalsukan KK demi anaknya bisa bersekolah di tempat yang dituju. Akibatnya, orang yang benar-benar tinggal di daerah dekat sekolah tersebut tidak mendapatkan haknya untuk bisa bersekolah.
Bahkan di media sosial twitter, permasalahan PPDB zonasi ini sampai menjadi trending topic pada kala itu.
Kontroversi besar terjadi di sistem PPDB zonasi SMA Negeri 3 Bogor, bahkan para Ibu-Ibu selaku orang tua murid sampai melakukan demonstrasi besar sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap pelaksanaan PPDB kali ini. Unjuk rasa tersebut terjadi pada 25 Juli 2023, bahkan Ibu-Ibu tersebut sampai mengenakan seragam putih abu-abu dan meneriakkan yel-yel serta orasi.
“Jangan Rampas Hak Pendidikan Anak Kami”, kalimat tersebut ditulis besar dengan spanduk yang dibawa oleh orang tua murid itu. Mereka kecewa karena dianggap PPDB Zonasi di jenjang SMA tersebut terdapat kecurangan dan merugikan warga yang tinggal dekat sekolah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sempat memberikan tanggapan terkait pro dan kontra PPDB zonasi ini. “Itu kebijakan zonasi bukan kebijakan saya. Itu kebijakan sebelumnya, Pak Muhadjir. Tapi itu kita sebagai satu tim merasa ini adalah suatu kebijakan yang penting, yang sudah pasti bakal merepotkan saya,” jelasnya pada acara Belajaraya 2023 di Posbloc, Jakarta Pusat pada 29 Juli 2023.
Nadiem Makarim memahami keluhan dan kontra dari sejumlah masyarakat, namun Ia menganggap juga jika sistem zonasi ini tidak diberlakukan maka akan lebih banyak kesenjangan pendidikan. Menurutnya, perdebatan dalam menetapkan kebijakan adalah hal yang wajar. Kecurangan-kecurangan yang terjadi di sejumlah sekolah tentunya akan ditindaklanjuti, namun sistem zonasi sepertinya akan terus dilaksanakan.
Meskipun begitu apa yang dikatakan oleh Nadiem Makarim memang benar adanya. Sistem zonasi juga menguntungkan bagi banyak masyarakat karena dapat memberikan akses pendidikan yang lebih luas kepada siswa bertaraf ekonomi rendah. Sehingga bagi masyarakat berekonomi rendah atau kurang mampu tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk transportasi.
Dalam hal ini sistem zonasi menunjukkan kemampuannya untuk membantu akses siswa yang berada di kelas sosial yang rendah. Bagi sekolah, sistem zonasi juga membantu sekolah di daerah menjadi lebih berkembang karena mendapat kualitas siswa yang beragam. (*)
Penulis: Wianda Salsabilla, Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas