ENTERTAINMENT – Di tengah usianya yang senja, Titiek Puspa tak lagi ingin bicara tentang politik. Tapi bukan berarti ia berhenti peduli. Dalam sebuah podcast terakhir yang ditayangkan tepat di hari kepergiannya, sang maestro menyampaikan pesan mendalam untuk para pemimpin dan orang-orang berkuasa di negeri ini. Bukan pesan biasa—melainkan seruan nurani seorang seniman yang telah hidup dalam berbagai masa perjuangan bangsa.
Podcast bersama Deddy Corbuzier itu menjadi warisan suara terakhir Titiek Puspa. Dan di dalamnya, tersimpan suara hati yang tajam, jujur, namun penuh kasih untuk Indonesia.
“Ulurkan Sekian Persen Supaya Kamu Naik ke Surga”
Ketika Deddy bertanya apakah pemerintah harus ikut campur dalam pelestarian budaya, jawaban Titiek lugas, bahkan nyaris tanpa tedeng aling-aling:
“Pokoknya pemerintah dan orang-orang yang mencari uang di Indonesia, yang merasa telah mengambil kekayaan dari Indonesia, ulurkan sekian persen untuk itu. Supaya kamu naik ke surga.” tegasnya
Bagi Titiek, menjaga dan melestarikan seni budaya bukan hanya tugas seniman. Pemerintah dan para pemilik modal, mereka yang menikmati hasil bumi dan kekayaan negeri ini harus ikut bertanggung jawab. Baginya, ini bukan sekadar tanggung jawab administratif, tapi tanggung jawab spiritual. Sebuah pertaruhan moral antara kebaikan dan karma semesta.
“Kalau Kamu Percaya Tuhan, Kamu Akan Takut Berbuat Jahat”
Titiek Puspa mengakui bahwa ia sudah lama tidak ingin bicara tentang politik. Tapi bukan berarti ia buta. Justru dari diamnya, ia mengamati. Dan ketika akhirnya bicara, ia memilih jalur yang dalam: kesadaran spiritual.
“Kamu berbuat, kamu tanggung jawab. Kalian berbuat baik, kalian akan dapat kebaikan dari alam semesta. Kalian berbuat jahat, kalian akan dapat kejahatan yang berlipat dari alam semesta.” Jelasnya
Menurut Titiek, jika seseorang benar-benar mengakui adanya Tuhan, maka seharusnya ia takut untuk melakukan iri, dengki, korupsi, bahkan membully. Ia menyerukan agar semua pihak mulai berdamai, saling bergandeng tangan, dan bersyukur atas karunia yang sudah diberikan kepada bangsa ini.
“Setiap Pagi Saya Sapa Alam Semesta”
Kecintaan Titiek Puspa terhadap Indonesia tak hanya terlihat dalam kata-kata, tetapi dalam ritual pribadinya yang sederhana namun penuh makna.
“Aku saben pagi: selamat pagi langit, matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Selamat pagi bumi, alam semesta yang hidup dan yang tidak hidup. Terima kasih.” ungkapnya
Ini bukan sekadar ucapan, melainkan bentuk syukur mendalam kepada kehidupan. Sesuatu yang menurutnya sudah terlupakan oleh banyak orang di negeri ini. Ia menyadari bahwa Indonesia bukan hanya sekadar tempat tinggal, tapi tanah suci tempat berkumpulnya anugerah dan sejarah perjuangan.
Napak Tilas Seorang Penyintas Zaman
Titiek lahir pada masa transisi antara penjajahan Belanda dan Jepang. Ia tahu rasanya kelaparan. Ia tahu rasanya hidup dalam ketidakpastian, di masa ketika Indonesia masih belum menjadi siapa-siapa.
“Saya lahir in between Belanda pergi, Jepang datang. Nah, di antara itu Indonesia big zero. Itu saya tahu bagaimana dapat makan atau tidak.” terangnya
Maka ketika ia berusia 80 tahun, alih-alih merayakan dengan pesta mewah, Titiek memilih melakukan “Tour the Grave”—ziarah ke makam para pahlawan yang telah membangun negeri ini dengan darah dan air mata.
“Saya paling sedikit harus dapat makam pahlawan 8, karena saya umur 80. Tapi saya dapat 13. Saya pergi ke Kalibata, Bung Hatta, Ismail Marzuki, Jenderal Sudirman, Ki Hajar Dewantara yang membuat anak-anak Indonesia pintar, adalah beliau. Saya datang.” Ceritanya kepada Deddy
Ziarah itu bukan sekadar penghormatan, tapi juga bentuk tanggung jawab moral bahwa seniman pun bisa mengingatkan negeri ini untuk tidak melupakan siapa yang membuat mereka berdiri hari ini.
“Saya Sudah Pasrah… Tapi Saya Masih Berdoa”
Di akhir podcast, ketika membahas situasi politik terkini termasuk pemilu dan presiden, Titiek hanya tersenyum. Ia mengaku sudah pasrah, tapi tetap berdoa.
“Saya selalu berdoa: tolong orang-orang yang menyembah-Mu, pemimpin bangsaku serta keluarga dan jajarannya, dan bangsa Indonesia dilindungi, dibentengi dari mara bahaya, dari segala ilmu hitam. Believe or not, itu ada.”
Di tengah dunia yang terus berubah, keyakinan Titiek pada Tuhan dan energi semesta tetap menjadi pegangan utamanya. Ia tidak menunjuk siapa pun, tidak menghakimi, tapi mengajak semua orang untuk kembali pada nurani.
Titiek Puspa memang telah tiada, namun pesannya masih bergema. Ia tidak meminta dikenang, melainkan mengajak untuk bertindak merawat budaya, mencintai negeri, dan bersyukur atas warisan yang telah diberikan. Baginya, menjaga seni dan budaya bukan sekadar tanggung jawab seniman, tapi panggilan nurani seluruh bangsa. Jika kita benar-benar percaya pada Tuhan, seperti yang selalu ia tekankan, maka menjaga anugerah ini adalah bentuk syukur yang sesungguhnya. (CB/NANABQ)