SAMARINDA– Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Didik Agung Eko Wahono, menyoroti terbatasnya kewenangan pemerintah daerah dalam menangani konflik pertanahan dan urusan perizinan, khususnya di sektor pertambangan dan kehutanan. Keterbatasan ini, menurutnya, menjadi akar peliknya penyelesaian sengketa yang melibatkan warga dan korporasi.
“Banyak yang mengira daerah tidak bertindak. Padahal memang kewenangannya dibatasi. Sejak UU 23/2014 berlaku, izin usaha dan pengawasan banyak yang langsung ditangani pusat,” kata Didik, Rabu (28/5/2025).
Politikus PDI Perjuangan itu menjelaskan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memusatkan sejumlah kewenangan strategis di tangan pemerintah pusat. Dampaknya, daerah hanya memiliki fungsi pengawasan tanpa daya eksekusi.
“Kami hanya diberi peran sebagai pengawas dan pelapor. Tidak bisa mencabut izin, apalagi menghentikan operasi perusahaan. Ini yang jadi hambatan utama,” ujar Didik.
Komisi I DPRD Kaltim, kata dia, telah berkali-kali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menyikapi berbagai laporan masyarakat soal konflik lahan. Namun tanpa kontrol terhadap perizinan dan kegiatan operasional perusahaan, rekomendasi DPRD sering kali mentok di meja birokrasi.
Didik mencontohkan konflik yang kerap berulang antara warga dengan perusahaan tambang maupun perkebunan kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan itu memperoleh izin langsung dari kementerian, sehingga ketika terjadi sengketa di lapangan, pemerintah daerah tidak punya kewenangan mengambil langkah hukum atau administratif yang tegas.
“Masalahnya selalu berulang. Masyarakat bersengketa dengan perusahaan tambang atau sawit. Dan itu sudah terjadi bertahun-tahun,” ujarnya.
Ia menegaskan, penyelesaian sengketa akan jauh lebih efektif jika pemerintah pusat bersedia melakukan desentralisasi kewenangan. Daerah, menurutnya, lebih memahami konteks lokal dan memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat yang terdampak.
“Kalau kewenangan diturunkan kembali ke daerah, penyelesaiannya bisa lebih cepat karena kami yang langsung bersentuhan dengan masyarakat,” kata Didik.
Ia pun mendorong pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi UU Nomor 23 Tahun 2014 dan membuka ruang bagi daerah dalam pengelolaan izin usaha serta penyelesaian konflik lahan.
“Tanpa perubahan regulasi, akar persoalan ini tidak akan pernah tuntas. Kita hanya akan mengulang siklus yang sama, dengan masyarakat selalu berada di posisi paling dirugikan,” pungkasnya. (ADV/CB/QLA)
Penulis : QLA
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!