SAMARINDA — Jalan umum di Kalimantan Timur kembali menjadi saksi ketidakberdayaan hukum di hadapan kepentingan industri. Meski regulasi sudah tegas melarang kendaraan tambang dan perkebunan melintasi jalan rakyat, truk-truk raksasa masih bebas lalu-lalang, merusak infrastruktur, dan membahayakan keselamatan warga.
Kondisi ini memantik keprihatinan Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin. Ia menilai lambannya penegakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2016—yang sudah direvisi dan dikirim untuk evaluasi ke pemerintah pusat sebagai bentuk pembiaran yang sistematis.
“Kami sudah kerja sampai revisi perda selesai. Tapi biro hukum dan aparat di lapangan masih pasif. Ini bukan sekadar kelalaian, ini pembiaran,” ujar Salehuddin.
Perda tersebut secara eksplisit mewajibkan perusahaan tambang dan perkebunan membangun jalan khusus (hauling road) untuk operasionalnya. Tujuannya jelas: menjaga keselamatan masyarakat dan memperpanjang usia jalan umum. Namun fakta di lapangan memperlihatkan pemandangan sebaliknya truk-truk besar justru masih mendominasi jalur rakyat, terutama di daerah tambang.
“Ini bukan hanya soal infrastruktur. Truk-truk itu membahayakan warga, menciptakan keresahan, dan kita sudah lihat sendiri beberapa kasus kecelakaan yang merenggut nyawa,” tegas politikus Golkar dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara ini.
Yang lebih memprihatinkan, lanjut Salehuddin, pembiaran ini bisa memicu ketegangan sosial. Di beberapa wilayah, warga mulai menunjukkan resistensi terhadap perusahaan yang dianggap mengabaikan hak dan keselamatan publik. Potensi konflik terbuka tak bisa dihindari jika negara terus absen dari perannya sebagai penegak aturan.
“Kalau hukum diam, tapi korporasi terus bergerak, maka yang terjadi adalah kekacauan. Rakyat kehilangan kepercayaan,” katanya.
DPRD juga mencatat bahwa kerusakan jalan di sejumlah kabupaten penghasil batu bara dan kelapa sawit hampir seluruhnya disebabkan oleh lalu lintas kendaraan berat. Namun ironinya, beban perbaikan jalan justru ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Ini tidak adil. Perusahaan yang rusak, rakyat yang bayar lewat pajak. Negara seolah kalah otoritas di hadapan industri,” kritiknya.
Salehuddin mendesak agar Pemprov Kaltim bersama aparat penegak hukum baik kepolisian maupun kejaksaan segera mengambil langkah konkret. Menurutnya, waktu untuk kompromi sudah habis jika keselamatan dan keadilan masih ingin ditegakkan.
“Hukum tidak boleh tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kalau regulasi hanya jadi hiasan, kita sedang menciptakan ketimpangan hukum yang berbahaya,” pungkasnya. (ADV/CB/QLA)
Penulis : QLA
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!