OPINI – Dalam dinamika politik dan pemerintahan saat ini, tidak ada ruang kosong bagi pejabat publik untuk bergerak tanpa pengawasan. Era digital dengan media sosial sebagai arus utama informasi membuat setiap tindakan, ucapan, bahkan gestur kecil para pejabat menjadi sorotan luas. Semua mata tertuju pada mereka: anggota DPR RI, DPRD, bupati, gubernur, bahkan pejabat birokrasi. Tidak ada lagi ruang privat bagi figur publik, karena apa pun yang ditampilkan segera menjadi konsumsi masyarakat.
Fenomena ini pada dasarnya menandakan semakin tingginya partisipasi dan kesadaran masyarakat. Rakyat semakin kritis, semakin berani menyuarakan pandangan, dan semakin cepat menyebarkan opini melalui berbagai kanal digital. Namun, sisi lain dari dinamika ini adalah kerentanan. Sentimen masyarakat sangat mudah terprovokasi oleh perilaku pejabat. Tindakan kecil yang dianggap tidak pantas dapat memicu ketidakpuasan, bahkan konflik sosial yang berujung pada demonstrasi dan pengerusakan fasilitas publik.
Kita bisa belajar dari pengalaman negara lain, seperti Nepal. Gelombang protes besar-besaran di sana bukan hanya lahir dari persoalan kebijakan yang tidak pro-rakyat, tetapi juga dari ketidakpercayaan mendalam terhadap elite politik yang dianggap jauh dari realitas kehidupan masyarakat. Ketika rakyat merasa pejabatnya sibuk dengan kepentingan pribadi dan simbolisasi kekuasaan, sementara kebutuhan pokok mereka terabaikan, maka letupan sosial menjadi tak terhindarkan.
Situasi semacam itu bukan mustahil terjadi di Indonesia bila pejabat publik tidak bijak menjaga sikap. Contoh sederhana, beberapa waktu lalu ruang sidang DPR RI ramai oleh aksi joget-joget sejumlah wakil rakyat. Mungkin maksudnya sekadar hiburan, pelepas penat, atau mencairkan suasana. Tetapi di mata rakyat yang sedang berjuang melawan kerasnya hidup, hal itu dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan. Publik merasa disakiti, karena di tengah harga kebutuhan pokok yang naik, biaya pendidikan yang mencekik, dan lapangan kerja yang terbatas, para wakil rakyat justru menampilkan perilaku yang terkesan main-main dengan mandat yang mereka emban.
Di sinilah pentingnya strategi pemerintah dan pejabat publik untuk membangun sentimen masyarakat yang positif. Sentimen tidak bisa diciptakan hanya lewat slogan, spanduk, atau kampanye seremonial. Ia lahir dari kepekaan, empati, dan keteladanan yang konsisten. Rakyat ingin melihat pejabatnya sederhana, mau turun langsung mendengar keluh kesah, dan bekerja nyata menghadirkan solusi.
Perlu kita sadari, menjaga sentimen positif masyarakat adalah bagian penting dari menjaga stabilitas nasional. Ketika rakyat merasa dihargai, diperhatikan, dan dipimpin dengan ketulusan, maka potensi konflik akan mereda dengan sendirinya. Sentimen positif adalah modal sosial yang jauh lebih berharga daripada pencitraan semu. Ia akan menjadi perisai kuat bagi bangsa ini dari ancaman gejolak yang bisa mengguncang persatuan.
Namun, menjaga sentimen masyarakat tidak hanya tugas pemerintah. Media juga punya peran besar. Alih-alih hanya mengekspos sensasi dan kegaduhan, media dapat mendorong narasi konstruktif yang menumbuhkan kepercayaan publik. Masyarakat pun perlu semakin dewasa dalam menyikapi isu politik, tidak mudah terprovokasi, dan mampu memilah informasi yang benar.
Pelajaran dari Nepal, juga dari dinamika internal Indonesia sendiri, menunjukkan bahwa ketidakpekaan elit politik adalah jalan tercepat menuju runtuhnya kepercayaan rakyat. Sebaliknya, sikap rendah hati, empati, dan keteladanan adalah jalan panjang namun kokoh untuk membangun kepercayaan.
Kini saatnya pejabat publik memahami bahwa mereka bukan sekadar pemegang jabatan administratif, tetapi simbol moral bangsa. Setiap gestur adalah pesan, setiap ucapan adalah kebijakan, dan setiap tindakan adalah cermin kepemimpinan.
Jika pejabat mampu menunjukkan keseriusan, kejujuran, dan kepedulian nyata, maka sentimen positif akan tumbuh. Dari sanalah lahir stabilitas, kepercayaan, dan dukungan yang menjadi fondasi bagi pembangunan bangsa.
Maka, menjaga sentimen masyarakat bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Karena sejatinya, pemimpin yang dihormati bukanlah yang menuntut loyalitas rakyatnya, melainkan yang mampu menumbuhkan kepercayaan melalui teladan dan pengabdian.
“Pemimpin bukan dinilai dari seberapa tinggi jabatannya, melainkan dari seberapa dalam ia mampu menyentuh hati rakyatnya.”
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!