OPINI – Bangsa ini tidak kekurangan regulasi, tidak kekurangan pejabat, bahkan tidak kekurangan jargon tentang integritas dan komitmen. Tetapi, apa gunanya semua itu jika akar persoalan sesungguhnya tidak pernah disentuh? Kita terlalu sibuk memotong ranting dan daun yang kering, sementara batangnya terus busuk dari dalam. Kita terlalu asyik menindak hilir, tetapi membiarkan hulu tetap keruh dan tercemar.
Hulu yang dimaksud adalah awal mula lahirnya produk politik. Sejak dari sana, dari ruang yang seharusnya melahirkan pemimpin berintegritas, bangsa ini justru menanamkan bibit-bibit kebusukan. Apakah kita pura-pura tidak tahu bahwa demokrasi yang diagung-agungkan telah lama berubah wajah? Bahwa pesta demokrasi lebih mirip pesta transaksi, pesta jual beli suara, dan pesta sogokan massal?
Kita sering menyebut pemilu sebagai pesta rakyat. Namun, pesta rakyat macam apa jika substansinya hanya menjadi ladang dagang suara? Demokrasi yang sejatinya menjadi jalan suci justru berubah menjadi pendidikan korupsi terbesar di negeri ini.
Masyarakat yang semestinya belajar tentang arti kedaulatan rakyat justru belajar cara paling dini menerima sogokan. Sementara calon pemimpin yang seharusnya menunjukkan gagasan dan integritas justru berlomba-lomba membeli legitimasi. Inilah ironi: bangsa ini berbicara keras tentang perang melawan korupsi, tetapi dalam waktu yang sama justru mewariskan budaya korupsi sejak di pintu masuk kekuasaan.
Apa yang kita harapkan dari calon yang berutang suara lewat amplop? Tentu saja kebijakan yang kelak mereka buat bukan untuk rakyat, tetapi untuk balik modal. Rakyat tidak lagi menjadi tujuan, melainkan hanya tangga untuk menduduki kursi. Bukankah kita yang membiarkan politik menjadi semacam investasi, tempat modal ditanam, lalu hasilnya dipetik kembali dalam bentuk rente kekuasaan?
Rahasia Umum yang Semua Tahu, money politics bukan isu asing. Ia adalah rahasia umum yang semua orang tahu, semua orang pahami, tetapi semua memilih diam. Masyarakat tahu, aparat tahu, penyelenggara tahu, bahkan para caleg dan calon kepala daerah pun tahu. Tapi diam dianggap lebih aman. Diam dianggap lebih nyaman.
Lalu, bagaimana mungkin kita berharap ada perbaikan? Jika dari awal kita sudah sepakat menutup mata, jangan kaget bila yang lahir adalah produk politik yang cacat. Jangan berharap pemimpin lahir dari rahim demokrasi yang kotor akan memiliki komitmen suci untuk rakyat. Mustahil.
Produk Politik yang Memilukan, tidak heran jika produk politik yang lahir dari sistem seperti ini sering kali membuat rakyat mengelus dada. Kita melihat wakil rakyat yang lebih sibuk menegosiasikan proyek ketimbang menyerap aspirasi. Kita menyaksikan pejabat yang lebih sibuk mengurus kepentingan kelompok dibanding kepentingan publik. Kita menonton bagaimana kebijakan publik diperdagangkan demi segelintir keuntungan pribadi.
Apakah itu salah individu? Sebagian iya. Tapi jangan lupa: mereka adalah produk sistem. Sistem yang sejak hulu sudah mengajarkan bahwa politik adalah transaksi. Sistem yang sejak awal menanamkan keyakinan bahwa jabatan adalah hasil dagang, bukan amanah.
Maka, jangan pernah terkejut melihat data kasus korupsi yang terus menumpuk. Jangan kaget jika indeks persepsi korupsi Indonesia berjalan lambat. Itu bukan sekadar soal moral individu, melainkan soal rahim politik yang cacat.
Perbaikan Aturan, Bukan Sekadar Slogan, kita harus jujur mengatakan: jangan bermimpi ada perubahan jika hulu tidak diperbaiki. Menangkap koruptor di hilir tanpa memperbaiki sistem di hulu hanya akan membuat drama korupsi terus berulang dengan wajah baru. Kita menangkap hari ini, besok lahir lagi yang baru.
Perlu ada keberanian untuk memperbaiki aturan main politik. Misalnya, pembatasan ketat terhadap biaya politik, transparansi dana kampanye, serta sanksi berat bagi praktik money politics yang sering dianggap enteng. Penegakan hukum harus nyata, bukan formalitas tahunan menjelang pemilu.
Selain itu, pendidikan politik harus dimaknai serius. Bukan sekadar seremonial sosialisasi, melainkan upaya sistematis untuk membuat masyarakat sadar bahwa menerima uang dalam pemilu sama saja menjual masa depan. Rakyat harus paham bahwa amplop yang diterima hari ini berbanding lurus dengan kebijakan yang mengabaikan mereka esok hari.
Namun, jangan salah, kerusakan hulu ini bukan hanya kesalahan elite politik. Masyarakat pun ikut ambil bagian. Selama rakyat masih menganggap wajar menerima “uang rokok” dari calon, selama masyarakat masih menutup mata pada politik transaksional, maka demokrasi akan tetap menjadi lahan subur untuk korupsi.
Kita tidak bisa hanya menyalahkan politisi, sebab mereka hanya menjawab logika pasar yang kita sendiri ciptakan. Selama masih ada yang mau membeli, maka selalu ada yang bersedia menjual. Jadi, siapa sesungguhnya yang merusak demokrasi? Politisi saja? Atau justru kita bersama?
Bangsa ini harus berhenti munafik. Kita harus berhenti berpura-pura tidak tahu bahwa hulu demokrasi kita sudah lama tercemar. Kita harus berani mengatakan dengan jujur: korupsi tidak akan pernah berkurang jika sistem politik tidak dirombak. Tidak ada gunanya berharap pemimpin bersih lahir dari sistem yang kotor.
Jika sungai di hulu penuh lumpur, mustahil air di hilir jernih. Jika rahim politik kita tercemar transaksi, mustahil lahir produk politik yang suci. Jika kita ingin bangsa ini benar-benar baik, maka tidak ada jalan lain: perbaiki hulu.
Bukan hanya slogan. Bukan hanya janji. Tapi perubahan nyata yang dimulai dari aturan, pendidikan politik, penegakan hukum, hingga keberanian masyarakat menolak normalisasi money politics.
Ingatlah, bangsa ini tidak akan pernah maju jika kita terus melahirkan pemimpin hasil dagang. Karena dari rahim yang busuk, yang lahir hanyalah generasi busuk berikutnya. (*)
Penulis : Sayyid Hasan
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!