PENAJAM — Ritual Nondoi, salah satu warisan budaya takbenda tertua milik Suku Paser, kembali menarik perhatian. Dikenal juga sebagai Belian Nondoi, ritual berskala besar ini bukan sekadar upacara adat biasa. Bagi masyarakat Paser, khususnya di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Nondoi adalah pondasi spiritual dan sosial yang diyakini mampu membersihkan seluruh kampung dari berbagai marabahaya dan energi negatif.
Nondoi diyakini telah ada jauh sebelum terbentuknya kesultanan di Tanah Paser. Sejarah lisan Suku Paser mengaitkan asal-usulnya dengan Nalau Raja Tondoi, salah satu raja Kesultanan Paser pada masa lalu. Konon, upacara Belian—yang kemudian menjadi cikal bakal Nondoi—dilaksanakan atas petunjuk raja untuk menyembuhkan seorang abdi kerajaan yang menderita penyakit parah dan tak dapat diobati secara medis.
Mulung atau pemimpin ritual Nondoi, Suwis Santoso, menjelaskan bahwa secara filosofis, tujuan utama Nondoi adalah “Bersih Kampung”. Kata Nondoi sendiri dalam bahasa Paser secara harfiah berarti “membersihkan”. Makna mendalamnya adalah upaya spiritual untuk membersihkan kampung dari malapetaka, roh jahat, dan berbagai penyakit, baik fisik maupun rohani. Oleh karena itu, ritual ini juga berfungsi sebagai media pengobatan tradisional utama.
“Pengobatan yang dilakukan dalam ritual ini lekat dengan istilah Belian. Kata ini merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Paser, yakni Belli (taring) dan Kelian (sembuh/mampu bangkit). Artinya, Belian adalah taring yang bisa menyembuhkan. Ritual ini sekaligus menjadi wujud penghormatan dan rasa syukur kepada roh leluhur (Sangiyang) serta Sang Pencipta, bahkan sering dilaksanakan untuk membayar niat atau nazar yang telah terkabul,” ujarnya, Rabu (5/11/2025).
Pelaksanaan Nondoi tergolong masif dan memakan waktu panjang, biasanya berlangsung antara tujuh hingga enam belas malam. Seluruh prosesi diselenggarakan oleh Mulung atau Pemelian, yaitu dukun adat yang berperan sebagai penghubung sakral antara dunia manusia dan roh leluhur. Mulung akan merapalkan doa-doa dan mantra yang disebut Soyong atau Besoyong sepanjang malam pelaksanaan.
Aspek paling simbolis terlihat pada perlengkapan Mulung. Ia mengenakan Sabang Sambit (taring) dan Gitang, yaitu gelang kuningan berat—bisa lebih dari dua kilogram per tangan—yang harus terpasang sempurna sebagai simbol restu leluhur. Seluruh rangkaian ritual diiringi alunan sakral musik Petep, sejenis gamelan atau kenong, yang bertalu-talu mengiringi mantra dan persembahan sesajen.
“Setelah melalui tahapan pembukaan (Sabi Sepa, Soyong Simong) dan malam-malam inti Soyong yang berisi ritual penyembuhan bagi yang membutuhkan, Nondoi ditutup dengan acara komunal. Ritual sering diakhiri dengan Makan Bareng (makan bersama) sebagai simbol kebersamaan. Selain itu, beberapa pelaksanaannya turut menyertakan ritual Larung Jakit, simbol pengusiran roh jahat ke alam bebas,” jelasnya.
Saat ini, di tengah perkembangan zaman, ritual Nondoi juga telah diadaptasi menjadi festival budaya tahunan di PPU, bekerja sama dengan pemerintah daerah. Secara sosiologis, Nondoi terbukti berperan vital sebagai sarana gotong royong dan pemersatu masyarakat, mengokohkan nilai-nilai sosial, serta memastikan pelestarian identitas budaya dan kekayaan spiritual Suku Paser tetap terjaga. (CB/AJI)
Reporter : Aji Yudha
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!







