Menu

Mode Gelap
Hujan Deras Sebabkan Banjir di Penajam, Ratusan Keluarga Mengungsi

Advertorial DPRD Kaltim

Dua Dekade Lahan Bendungan Marangkayu Tak Bertuan, DPRD Kaltim Desak Mediasi Agraria

badge-check


					Foto: Anggota DPRD Kalimantan Timur dari Dapil Kutai Kartanegara, Baharuddin Demmu. (Dok. IST) Perbesar

Foto: Anggota DPRD Kalimantan Timur dari Dapil Kutai Kartanegara, Baharuddin Demmu. (Dok. IST)

SAMARINDA — Dua dekade sudah, proyek Bendungan Marangkayu yang digadang-gadang menjadi solusi air bersih dan irigasi untuk warga Desa Sebuntal, Kutai Kartanegara, justru menyisakan jejak panjang konflik agraria. Sekitar 100 hektare lahan yang dahulu digarap warga kini terlilit sengketa antara masyarakat dan perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU), sementara uang negara mengendap tanpa kejelasan penerima.

Proyek yang semula membawa harapan itu kini menjelma menjadi sumber ketegangan sosial. Air memang telah ditampung, namun ganti rugi belum mengalir. Status tanah tak kunjung selesai, dan dalam pusaran birokrasi, suara warga semakin sayup terdengar.

“Ini bukan cuma perkara uang, tapi hak hidup. Selama dua dekade warga hidup di ketidakpastian,” kata Baharuddin Demmu, anggota DPRD Kalimantan Timur dari Dapil Kutai Kartanegara, Senin (17/6/2025).

Demmu, yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Sebuntal, menyebut sejarah panjang pembangunan bendungan ini bermula dari aspirasi masyarakat. Pada 2006, warga mendesak ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian. Usulan itu dikawal hingga pemerintah menetapkan lokasi proyek bendungan setahun kemudian.

Namun di tengah pelaksanaan, konflik muncul. Jika pada tahap awal pembebasan lahan berjalan lancar, tidak demikian dengan kelanjutan proyek pasca-2017. Warga yang telah puluhan tahun menggarap lahan tiba-tiba diklaim menempati wilayah HGU milik PT Perkebunan Nusantara XIII.

“Sejak saya menjabat sebagai kades, tidak pernah ada informasi bahwa tanah itu masuk wilayah HGU. Semua tahu itu lahan garapan turun-temurun,” ucap politisi PAN itu.

Persoalan kemudian meruncing ke ranah hukum. Gugatan warga kandas. Pengadilan lebih mempercayai bukti administratif perusahaan ketimbang keberadaan fisik masyarakat di atas lahan. Pemerintah lantas memilih jalur konsinyasi dengan menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan, alih-alih menyelesaikannya secara sosial.

“Absurd. Putusan dijatuhkan tanpa pernah turun ke lapangan, tanpa melihat bahwa warga hidup dari tanah itu,” ujar Demmu.

Kini, pembangunan fisik bendungan memang sudah rampung, tetapi fungsinya tak sepenuhnya berjalan karena kepemilikan lahan yang belum jelas. (ADV/CB/QLA)

Penulis : QLA

Editor : Nanabq

Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

Kinerja Perusda Kaltim Dinilai Belum Maksimal, DPRD Dorong Evaluasi dan Perbaikan Manajemen

16 Juni 2025 - 19:59 WITA

Layanan Kesehatan Gratis Pemprov Kaltim: Ribuan Warga Pedalaman Belum Tahu Haknya

12 Juni 2025 - 19:57 WITA

HGB Mall Lembuswana Segera Habis, DPRD Kaltim Dorong Evaluasi Total Aset Publik

11 Juni 2025 - 19:55 WITA

Krisis SDM Hambat Potensi Pertanian Kaltim

11 Juni 2025 - 19:50 WITA

Truk Tambang Masih Kuasai Jalan Umum, DPRD Kaltim Soroti Pembiaran Aparat dan Lemahnya Penegakan Hukum

10 Juni 2025 - 19:48 WITA

Trending di Advertorial DPRD Kaltim