SAMARINDA — Ironi pembangunan kembali mencuat dari Kutai Timur, salah satu kabupaten penyumbang utama ekonomi Kalimantan Timur melalui sektor tambang batu bara. Di balik kilau triliunan rupiah yang disetor dari kawasan ini, warga setempat justru harus hidup dengan jalan rusak, air bersih yang langka, dan listrik yang kerap padam.
Sorotan keras disampaikan Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Apansyah, usai meninjau langsung kondisi lapangan di sejumlah kecamatan, termasuk kawasan operasional PT Kaltim Prima Coal (KPC) di jalur Sangatta–Bengalon.
“Yang kami lihat bukan kemajuan, tapi keterbelakangan. Ini jalur vital, dilewati industri tambang setiap hari, tapi kondisinya sangat memprihatinkan,” ujar Apansyah, Senin (9/6/2025).
Menurut dia, hingga kini belum ada upaya signifikan memperbaiki jalan tersebut karena terkendala perizinan teknis. Namun Apansyah menegaskan, hambatan administratif tak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan kerusakan infrastruktur terus berlangsung.
“Setiap hari masyarakat harus melewati jalan hancur. Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal keberpihakan,” katanya.
Dari 18 kecamatan di Kutim, sebagian besar masih kesulitan mengakses infrastruktur dasar. Ketimpangan mencolok antara kawasan industri dan wilayah permukiman masyarakat tak lagi bisa ditutupi.
“Mereka tinggal di tanah yang kaya, tapi tidak menikmati kekayaannya. Ini luka lama yang belum juga diobati,” tegas politikus dari Dapil Kutim, Berau, dan Bontang ini.
Meski begitu, Apansyah tetap mengapresiasi adanya pembangunan jalan provinsi yang menghubungkan Kutim dan Berau, termasuk proyek Jembatan Nibung yang ditargetkan rampung 2026. Ia menyebut proyek itu sebagai titik terang, namun menekankan agar perhatian tidak hanya berpusat pada satu jalur.
“Jangan sampai satu proyek jadi alibi untuk menutup mata dari ketertinggalan di wilayah lain,” katanya.
Tak hanya Kutim, Apansyah juga menyebut ketimpangan serupa terjadi di Kabupaten Berau dan Kota Bontang. Di Berau, tantangan terbesar masih akses jalan. Sedangkan di Bontang, banjir tahunan akibat sistem drainase yang buruk belum kunjung ditangani secara tuntas.
“Di Bontang, kami dorong normalisasi saluran air. Tapi ini butuh pengawasan berkelanjutan, bukan program musiman,” ucapnya.
Apansyah juga menyoroti minimnya tanggung jawab sosial perusahaan tambang terhadap infrastruktur yang mereka gunakan. Menurutnya, kerusakan jalan yang disebabkan oleh aktivitas truk tambang seharusnya dibarengi dengan kontribusi nyata dari korporasi.
“Setiap hari jalan itu dilindas truk-truk tambang. Wajar jika masyarakat menuntut kontribusi nyata dari perusahaan,” katanya.
Salah satu jalur lain yang kondisinya tak kalah rusak adalah akses Sangatta–Rantau Pulung. Apansyah menyebut kerusakan di jalur ini hampir setara dengan rute Sangatta–Bengalon.
Ia mengusulkan agar Pemprov, DPRD, dan perusahaan tambang duduk bersama dalam forum khusus untuk membahas langkah strategis penyelamatan infrastruktur dasar.
“Masyarakat tidak bisa terus jadi penonton. Mereka bagian dari ekosistem yang ikut menanggung beban pembangunan. Saatnya mereka juga ikut menikmati hasilnya,” pungkasnya. (ADV/CB/QLA)
Penulis : QLA
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!