SAMARINDA — Masa depan Mall Lembuswana, salah satu pusat perbelanjaan paling ikonik di Samarinda, berada di persimpangan. Komisi II DPRD Kalimantan Timur menyarankan agar pemerintah provinsi tak lagi memperpanjang kerja sama pemanfaatan aset ketika Hak Guna Bangunan (HGB) lahan mall itu berakhir pada 2026.
Menurut Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sabaruddin Panrecalle, keputusan tersebut bukan sekadar soal bisnis, melainkan bagian dari agenda besar penataan aset publik yang selama ini dinilai kurang akuntabel dan tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Sudah saatnya lahan strategis seperti itu dikelola untuk kepentingan publik dengan asas akuntabilitas. Kami telah merekomendasikan agar kerja sama ini tidak diperpanjang,” ujar Sabaruddin, Rabu, (11/6/2025).
Mall Lembuswana berdiri sejak 1998 di atas lahan eks-Taman Budaya milik Pemprov Kaltim. Selama lebih dari dua dekade, pusat perbelanjaan ini menjadi bagian dari denyut ekonomi kota. Namun, Komisi II menilai kontribusi ekonominya terhadap daerah tidak sebanding dengan nilai strategis lahan yang digunakan.
“Pemanfaatan aset daerah tidak boleh hanya berbentuk administrasi perizinan. Harus ada dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat,” kata politisi Partai Gerindra ini.
Kompleks Mall Lembuswana juga mencakup enam unit ruko yang dikerjasamakan dengan pihak swasta. Namun hingga kini, menurut DPRD, belum ada laporan transparan soal kontribusi real dari kompleks itu terhadap PAD. Minimnya informasi ini turut memperkuat desakan agar seluruh skema kerja sama dikaji ulang.
Meski demikian, Sabaruddin menyatakan keputusan akhir tetap berada di tangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dengan mempertimbangkan kajian teknis dan legal dari biro aset dan instansi terkait.
“Kalau kajiannya menunjukkan pemanfaatan selama ini tidak efektif dan tidak adil, ya sudah saatnya dihentikan. Kita perlu skema yang lebih sehat dan berpihak pada masyarakat,” ucapnya.
Komisi II juga membuka peluang pemanfaatan alternatif atas lahan strategis itu, termasuk konsep kerja sama investasi baru yang dinilai lebih adil. Sabaruddin menyebut, bukan tidak mungkin jika lokasi tersebut nantinya dialihkan menjadi ruang publik, pusat seni budaya, atau proyek sosial ekonomi yang memberi dampak ganda.
“Kami tidak anti-investasi. Tapi konsepnya harus berkeadilan. Kalau selama ini aset publik hanya menguntungkan satu pihak, itu tidak bisa diteruskan,” tegasnya.
DPRD, kata dia, ingin menjadikan momen berakhirnya HGB sebagai langkah awal untuk pembaruan sistem tata kelola aset pemerintah daerah.
“Aset daerah tidak boleh jadi pos mati. Kalau tidak memberi nilai tambah untuk rakyat, maka kewajiban kita adalah mengoreksi,” tutupnya. (ADV/CB/QLA)
Penulis : QLA
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!