OPINI – Olahraga pada dasarnya adalah panggung bagi sportivitas, perjuangan, dan dedikasi. Ia lahir dari keringat panjang para atlet yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kehidupan pribadinya demi mengejar prestasi. Namun, di balik euforia sorak-sorai penonton dan gemerlap medali, ada kenyataan getir yang sering kali terabaikan: praktik pengkondisian demi kepentingan tertentu, yang ironisnya justru mengorbankan atlet itu sendiri.
Dalam setiap iven olahraga, baik di tingkat daerah maupun nasional, medali kerap dijadikan tolok ukur utama keberhasilan daerah. Semakin banyak medali yang dibawa pulang, semakin dianggap berhasil pula pemerintah daerah membina atletnya. Di atas kertas, hal ini terlihat baik. Namun, di balik layar, realitasnya tidak sesederhana itu.
Bukan rahasia lagi, sering kali muncul dugaan bahwa tuan rumah mendapatkan “keistimewaan”. Bukan hanya dalam hal fasilitas atau dukungan moral, tetapi juga dalam bentuk peluang medali yang lebih besar. Dari cara penjadwalan, teknis pertandingan, hingga keputusan wasit atau juri, semuanya rawan diwarnai intervensi. Pada akhirnya, hasil pertandingan tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas atlet, melainkan keberhasilan “mengatur” situasi.
Jika pola semacam ini terus dibiarkan, maka olahraga kita akan kehilangan makna. Medali tidak lagi menjadi simbol kejayaan prestasi, melainkan sekadar trofi gengsi wilayah.
Yang paling dirugikan tentu saja para atlet itu sendiri. Bayangkan, bertahun-tahun mereka berlatih keras, mengorbankan masa muda, menjalani pola makan ketat, menahan rasa sakit saat cedera, hanya untuk dikalahkan oleh keputusan yang sudah “dikondisikan”. Bakat dan kemampuan yang seharusnya mendapatkan panggung justru dipadamkan oleh kepentingan jangka pendek.
Tidak sedikit atlet yang akhirnya kehilangan motivasi karena merasa perjuangannya sia-sia. Mereka mundur perlahan, meninggalkan arena yang seharusnya menjadi rumahnya, lalu beralih ke profesi lain. Lebih menyedihkan lagi, sebagian dari mereka sebenarnya memiliki potensi untuk bersaing di tingkat internasional, namun peluang itu terampas oleh ketidakadilan sejak awal.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah integritas wasit dan juri. Dalam beberapa cabang olahraga yang berbasis penilaian subjektif, peran mereka sangat menentukan hasil pertandingan. Di sinilah godaan intervensi sering muncul: demi nama baik daerah, demi menjaga muka pejabat, atau demi memastikan target medali tercapai.
Ketika wasit atau juri kehilangan keberanian untuk bersikap adil, maka olahraga telah berubah menjadi panggung sandiwara. Penonton mungkin masih bersorak, tetapi di balik itu ada luka yang dalam: atlet kehilangan kepercayaan, sportivitas terkoyak, dan masyarakat akhirnya apatis.
Sportivitas adalah roh dari setiap pertandingan. Tanpa kejujuran, olahraga hanyalah formalitas. Jika praktik pengkondisian terus berulang, kita tidak hanya merusak keadilan, tetapi juga membunuh semangat sportivitas yang seharusnya menjadi teladan bagi generasi muda.
Anak-anak yang menonton akan belajar bahwa untuk menjadi juara tidak perlu latihan keras, cukup dekat dengan penguasa atau panitia. Pesan moral olahraga yang seharusnya mendidik justru bergeser menjadi ajaran pragmatis: kemenangan bisa “dibeli” atau “diatur”.
Tulisan ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan refleksi. Apakah kita ingin olahraga Indonesia hanya sebatas panggung gengsi daerah, ataukah benar-benar menjadi ajang lahirnya atlet berkualitas yang bisa bersaing di tingkat internasional?
Jika kita sungguh mencintai olahraga, maka semua pihak harus berani berubah. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa prestasi sejati lahir dari pembinaan jangka panjang, bukan dari pengaturan jangka pendek. Federasi olahraga harus berkomitmen menjaga keadilan, bukan melanggengkan praktik kecurangan. Sementara itu, wasit dan juri harus meneguhkan integritas, karena di tangan merekalah nasib atlet dipertaruhkan.
Sudah saatnya kita mengembalikan makna olahraga ke jalur yang benar. Biarlah medali jatuh kepada mereka yang pantas, yang benar-benar berjuang dengan keringat dan kerja keras. Jangan lagi dikotori oleh intervensi atau pengkondisian demi kepentingan sesaat.
Indonesia memiliki banyak talenta muda dengan potensi luar biasa. Mereka layak mendapatkan panggung yang bersih, adil, dan bermartabat. Jika kita terus menodai olahraga dengan kepentingan politik dan gengsi daerah, maka kita bukan hanya membunuh mimpi atlet, tetapi juga mengkhianati masa depan bangsa.(*)
Penulis : Sayyid Hasan
Editor : Nanabq
Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!