Menu

Mode Gelap
Basuki Hadimuljono dan Jess Dutton Bahas Kolaborasi Infrastruktur Berkelanjutan untuk Ibu Kota Nusantara PUPR PPU Terkendala Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Dekat IKN Jaga Kelestarian Lingkungan Lewat Penanaman Pohon di KIPP IKN Delegasi Sabah Kunjungi Ibu Kota Nusantara, Eksplorasi Potensi Investasi dan Kerja Sama Otorita IKN Terima Kunjungan Delegasi Pengusaha Rusia, Bahas Peluang Kerja Sama Pembangunan IKN PPU Hadapi Tantangan Ketenagakerjaan, Dorong Peningkatan Kapasitas

PENAJAM PASER UTARA

Al Kautsar Taufik: Penegakan Hukum Tumpul, Kasus Korupsi Rp571 Juta Sebakung Jaya Berhenti di Pengembalian Dana

badge-check


					Foto: Penggiat Literasi Sadar Hukum, Al Kautsar Taufik, S.H. (Dok: Istimewa) Perbesar

Foto: Penggiat Literasi Sadar Hukum, Al Kautsar Taufik, S.H. (Dok: Istimewa)

PENAJAM — Agenda desentralisasi pasca-Orde Baru yang diagungkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa kini menghadapi tantangan serius. Gagasan kemandirian dan kedaulatan desa sebagai subjek pembangunan justru terjebak dalam birokrasi berlapis dan “sentralisme baru” yang mengekang inisiatif lokal. Alih-alih menjadi ruang publik yang demokratis, otonomi desa sering kali tersandera oleh tumpang tindih regulasi dan masalah fundamental etika pemerintahan.

Salah satu persoalan utama adalah disharmoni regulasi antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Kedua kementerian mengeluarkan aturan yang menuntut logika berbeda.

Kemendagri fokus pada kepatuhan administratif keuangan, sementara Kemendes PDTT menekankan pada inovasi pembangunan berbasis SDGs Desa. Ketegangan ini memicu fragmented authority dan membingungkan aparatur desa, seperti yang terjadi di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), di mana agenda pembangunan sering stagnan karena masalah sinkronisasi pelaporan.

Penggiat Literasi Sadar Hukum, Al Kautsar Taufik, S.H., memberikan kejelasan, yakni desentralisasi tanpa etika pemerintahan telah melahirkan otonomi disfungsional, ditandai dengan degradasi moralitas kekuasaan lokal.

“Korupsi dana desa ini menunjukkan bahwa dana publik dianggap sebagai instrumen kekuasaan, bukan amanah. Kasus di Desa Sebakung Jaya, Kecamatan Babulu, menjadi contoh nyata, di mana audit BPKP menemukan kerugian negara sebesar Rp571 juta dari proyek pembangunan lapangan sepak bola. Penyelesaian kasus yang berhenti pada pengembalian dana tanpa sanksi pidana tegas menciptakan impunitas kultural dan merusak kepercayaan publik,” tegasnya, Selasa (6/10/2025).

Menanggapi krisis tata kelola ini, Pemerintah Kabupaten PPU di bawah kepemimpinan Bupati Mudyat Noor menginisiasi pembentukan Pos Bantuan Hukum Desa (Posbakumdes) dan Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum). Inisiatif ini bertujuan memperkuat legal awareness dan pengawasan berbasis komunitas terhadap penggunaan dana desa.

“Posbakumdes bertugas memberikan pendampingan hukum dan konsultasi, sementara Kadarkum menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat, yang diharapkan menjadi basis sosial penegakan rule of law di tingkat lokal,” jelasnya.

Meskipun inisiatif Posbakumdes dan Kadarkum disambut baik, tantangan terbesarnya terletak pada implementasi. Ada risiko kedua lembaga ini hanya menjadi formalitas administratif tanpa kompetensi dan independensi yang memadai.

Bupati Mudyat Noor menunjukkan komitmen kuat terhadap transparansi publik dan pemerintahan terbuka, yang menekankan pentingnya partisipasi warga dan akuntabilitas aparatur. Komitmen ini harus diwujudkan dengan penegakan hukum yang transparan serta penindakan tegas terhadap setiap penyimpangan demi menjaga integritas pelayanan publik.

Dalam rekonstruksi tata kelola desa, peran pemuda dan Karang Taruna menjadi semakin strategis sebagai motor penggerak inovasi dan pengawasan sosial. Pandangan ini sejalan dengan arahan pemerintah pusat untuk melibatkan generasi muda dalam struktur pemerintahan desa.

“Pemuda dapat difungsikan sebagai unit transparansi desa melalui sistem digital terbuka untuk memantau realisasi APBDes secara real-time, sehingga memperkuat social accountability dan ketahanan sosial desa terhadap praktik penyimpangan kekuasaan,” ujarnya.

Untuk meneguhkan otonomi substantif, diperlukan harmonisasi regulasi antara Kemendagri dan Kemendes PDTT guna meniadakan tumpang tindih kebijakan. Selain itu, implementasi open government berbasis digital adalah kebutuhan mendesak, di mana transparansi anggaran didukung sistem open data yang memungkinkan masyarakat memantau setiap kegiatan.

“Dengan harmonisasi regulasi dan rekonstruksi kelembagaan ini, desentralisasi diharapkan tidak lagi menjadi proyek birokrasi, melainkan gerakan sosial yang menumbuhkan kedaulatan lokal yang beretika, sadar hukum, dan berdaya saing,” pungkasnya.(CB/AJI)

Reporter   : Aji Yudha

Editor        : Nanabq

Dapatkan breaking news dan berita pilihan langsung di ponselmu!
Gabung sekarang di WhatsApp Channel resmi Cahayaborneo.com:
https://whatsapp.com/channel/0029VaeJ8yD6GcGMHjr5Fk0D
Pastikan WhatsApp sudah terinstal, ya!


Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Baca Lainnya

Sinergi Pusat dan Daerah, Proyek Infrastruktur PPU Siap Dipercepat

7 Oktober 2025 - 17:17 WITA

Ekraf Festival 2025 Siap Guncang Penajam Paser Utara

7 Oktober 2025 - 13:50 WITA

Bupati PPU Ingatkan Pelaksana MBG: Jangan Buru-buru, Fokus dan Teliti Jadi Kunci

7 Oktober 2025 - 12:59 WITA

Peringati Maulid Nabi, Pemkab PPU Ajak Warga Teladani Kepemimpinan Rasulullah

6 Oktober 2025 - 18:11 WITA

PPU Hadapi Tantangan Pemenuhan Beras Bulog, Target Gabah Terpenuhi

6 Oktober 2025 - 16:54 WITA

Trending di PENAJAM PASER UTARA